Catatan Sejarah Yang Terkoyak

Barangkali kita lupa bagaimana cara bersyukur. Hingga apa yang ada pada kita saat ini tersia-siakan. Astaghfirullah.

Mukaddimah
Atas kesempatan yang telah Allah berikan kepada kita. Setiap saat dan setiap tempat. Bisa merasakan indahnya dibawah naungan rabbaniyah. Kemenangan dan kekalahan adalah masa yang selalu berganti. Hitam dan putih warna kehidupan yang senantiasa menyapa, adalah warna indah ciptaan-Nya. Warna kesempurnaan Allah. Alhamdulillah atas semuanya.

Yang pasti riak itu telah berubah menjadi gelombang yang terus bergerak. Gelombang surut yang akan menjauhkan diri dari titik pasang. Lama kelamaan menyusut dan pergi meninggalkan garis horizon, yang sudah sejak lama dibangun. Atau ia akan berubah menjadi gelombang pasang yang akan menabrak dan akan menghempaskan siapapun. Sehingga orang-orang akan jatuh tersungkur. Jatuh kehormatannya atau mereka akan lelah sendiri mengejar bayangan yang tidak mungkin untuk digapai.

Sehingga mereka akan kelelahan dan akhirnya tergeletak di sebuah geladak kapal yang tidak lagi satu visi. Atau mereka akan menyebrang ke kapal yan lain ditengah-tengah arus pasang untuk menentukan sebuah pilihan hidup. Setiap orang memiliki hak untuk hidup. Setiap orang memiliki nurani yang akan menuntun bagaimana menuju perjumpaan dengan Allah dengan cara yang terbaik.

Keberkahan, Masih adakah ?
Ada sebuah ketimpangan ikhtiar yang terjadi belakangan ini. Mulai dari menunda-nunda waktu shalat, hingga wajah yang sudah tidak malu lagi meninggalkan wudhu dhuha. Dari pelanggaran syar’i yang sederhana, sampai sedikit demi sedikit menjauhkan kedua tangan ini dari dinginnya wudhu pertiga malam. Ketimpangan yang bermula dari ‘hijab’ yang tidak terjaga, sampai keringnya halaman mushaf Al-Qur’an dari basah bibir lantaran jarang menyentuhnya. Semuanya terjadi dan perlahan menjadi sesuatu yang lumrah.

Kita fikir sedang menegakkan nilai-nilai rabbaniyah, tetapi kenyataanya meruntuhkan hakikat niliai-nilai Islamiyah di mata Allah. Menyangka sedang bekerja dibawah naungan sunnah, tetapi tanpa sadar sedang bergerak menjauh dari nilai-nilai sunnah. Lihat saja berapa lama kita berdo’a untuk saudara-saudara kita. Dan berapa banyak munajat yang kita torehkan siang dan malam untuk keberkahan amanah-amanah yang Allah titipkan. Menjadi sebuah kebanggaan jika kita telah melalui semua proses dengan Basmallah.

Atau justru telah terjebak kedalam rutinitas yang menyempitkan hakikat dakwah pada ruang kosong dan semu dalam lembaran-lembaran mutaba’ah program dan adminstratif. Itupun dilakukan dengan sedikit keikhlasan. Merasa nikmat menjalani rutinitas agenda yang seolah-olah mampu membangun bi’ah Islami, ternyata dihadapan Allah telah berpadu dengan syahwat dan kepentingan sesaat. Lihat saja berapa Magrib yang telah tertunda dan berapa Ashar yang ditakhirkan. Karena rapat-rapat kita. Karena kegiatan-kegiatan kita. Karena sebuah alasan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan dihadapan Allah kelak. Karena sudah jelas sebenarnya hakikat penciptaan kita sebagai manusia. Dan jelas pula untuk apa kita menjadi bagian dari orang-orang yang mencoba mengemban sedikit tugas nubuwah ini. Yang dalam janji Allah, setiap orang akan memikul beban dosa dan tanggungjawabnya sendiri-sendiri.

Menelusuri jejak perjuangan para aktivis yang ikhlas dalam perjuangan dakwah seolah kita memasuki sebuah spektrum amal yang sangat sulit ditemukan akhir-akhir ini. Ikhlas untuk berjuang ditengah tuntutan status simbol hidup keduniawian yang menempel dalam diri setiap kita. Kita dihadapkan kepada pilihan-pilihan yang tidak lagi rabbaniyah, akan tetapi bercampur dengan nafsu dan keinginan-keinginan pribadi.

Dakwah telah kehilangan fitrahnya sebagai rahmatan lil alamain ditangan para aktivis yang salah menafsirkan nilai-nilai Illahiah. Seolah-olah idealis namun penuh dengan nilai pragmatis. Seolah berjama’ah namun centang perenang hanya dipersatukan oleh amanah-amanah formal. Seolah mapan namun ringkih dan tidak beraturan tatanannya. Padahal tidak ada kata main-main didalam perjuangan ini. Apalagi setengah-setengah. Ia tegak bersama kemuliaan atau terpuruk bersama kehinaan yang kita ciptakan sendiri.

Apa yang Terjadi Saat Ini
Kita tidak mungkin melompati fase-fase serba tidak menentu seperti sekarang ini untuk bisa berubah menjadi organisasi yang stabil dan mapan. Walaupun tidak baik sebenarnya membuat organisasi yang besar terlalu mapan dan stabil. Karena masih diperlukan dinamisasi internal dan eksternal untuk membuat kita semua ’berfikir’ atas perubahan-perubahan yang terjadi disekitar kita.

Perubahan sejarah yang kemudian membuat banyak orang berfikir ulang bagaimana seharusnya orientasi organisasi kemahasiswaan. Perkembangan yang demikian cepat, politik, ekonomi, pendidikan dan sosiokultural yang menghantarkan kita semua menuju gerbang ’Pergerakan Indonesia Kontemporer’.

Pondasi yang kita milikipun ternyata tidak cukup kokoh untuk menopang turbulensi sosiopolitik yang terjadi. Kegamangan menghampiri sebahagian aktivis mahasiswa yang memang sejak awal mereka tidak paham tentang organisasi kemahasiswaan. Tidak pernah terlibat didalam ranah pergerakan yang bersifat state dan kebangsaan. Keadaan ini menghasilkan sebuah resultan ide dan pergerakan yang tidak sebangun dengan tuntutan masyarakat kampus dan masyarakat Indonesia.

Idealitas tekstual yang dipahami dan diajarkan jauh sekali dengan realitas kontekstual yang dihadapi oleh banyak orang akhir-akhir ini. Sehingga tidak mampu melahirkan solusi-solusi alternatif yang lebih jernih dan progresif atas masalah-masalah yang dihadapi. Akhirnya kita berlama-lama pada situasi ini yang yang kemudian melahirkan ide dan gagasan yang jauh dari manhaj.

Khatimah
Alhamdulillah segala bentuk kejadian yang telah Allah berikan. Hitam dan putih kehidupan ini hanya milik Allah semata. Ada kepedihan dan kegetiran. Demikian adanya hanya sedikit ‘kesenangan’ bagi orang-orang yang memaknai perjalanan hidup ini dengan benar.

Ketika saya harus kembali ‘belajar’ untuk ikhlas dan bersabar. Belajar kembali untuk memaknai ‘tadhiyah’ dan ‘itsar’ yang hanya diperoleh dalam kamus literian. Sejatinya tak ditemukan dalam kenyataan saat ini. Ketika saya benar-benar menemukan arti dan hakikat hidup dalam kejama’ahan yang nisbi. Nihil oleh nilai-nilai rabbaniyah. Ketika hanya Allah satu-satunya tempat meminta dan memohon pertolongan. Memohon ampun atassegala kemaksiatan yang telah dilakukan. Ketika Allah menjadi Dzat yang Maha Menggenggam kehidupan ini.

Ketika sebuah potongan sejarah telah terlalui. Besok barangkali akan dilupakan.

Dibawah langit yang sama.

0 comments: