Mozaik Putih Hitam Untuk Ikhwah Tercinta

Barangkali doa kita tak sebangun lagi dengan amal
Hanya menjadi pigura di sela jemari yang menengadah

Ruang majelis
Ketika kita menjelaskan banyak hal kepada orang lain maka paling tidak ada dua hal yang akan terjadi. Orang lain menganggap bahwa kita mengetahui banyak hal sehingga ia percaya. Dan yang kedua orang lain menganggap bahwa pengetahuan kita hanya sebatas itu dan ia akan pergi berlalu. Akan tetapi boleh jadi tidak kedua-duanya. Keadaan ketiga terjadi ketika kita yang menyampaikan dan orang yang mendengarkan sama-sama tidak tahu apa yang disampaikan dan diperdengarkan.

Demikian ruang-ruang majelis belakangan ini acapkali kita temukan. Tidak bisa menjawab pertanyaan lugas yang memang ditemukan keseharian. Belum mampu menjelaskan banyak hal dari sedikit yang kita ketahui. Seolah baru menjadi wasilah metafora yang mengetengahkan kisah romantisme peradaban. Kisah kepahlawanan yang diisi oleh itsar agung yang tak akan ditemukan lagi di abad ini. Baru menjadi wacana tekstual tentang tatanan peradaban mulia ditengah kemanusiaan yang profan. Belum menjadi gerak harmoni antara kata dan perbuatan.

Mozaik tak beraturan
Padahal kita tahu bahwa kepahlawanan manusia hari ini bukanlah seperti pengorbanan Khalid Bin Walid seperti dulu. Orang-orang di zaman ini kebanyakan hanya menunjukkan sisi pengorbanan setelah sisi kepuasan lain terpenuhi.

Orang-orang yang kita temui saat ini bukanlah orang-orang bijaksana dan bersahaja seperti Abu Bakar beberapa abad yang lalu. Tidak sedikit kita temukan mereka yang menisbatkan diri sebagai pemimpin ummat hidup dalam kelebihan yang sangat. Berkebalikan dengan keadaan ummat yang saat ini meregang kehidupan lantaran tidak bisa lagi menghidangkan sarapan pagi.

Keikhlasan dan ketulusan mereka tidak seperti Ali Bin Abi Thalib yang merelakan diri dan kehidupannya untuk dakwah. Kita saat ini hanya menemukan orang-orang yang menuntut banyak setelah memberi sedikit. Bercerita banyak setelah berbuat tidak seberapa. Bahkan mengiklankan amal solehnya demi popularitas dan kepentingan dunia.

Hingga kisah romantisme kehidupan belakangan ini tidaklah seperti kisah The True Love Story Muhammad dengan Khadijah. Parade cinta kasih paling mulia yang melibatkan orang paling mulia dan wanita paling mulia. Kita sekarang hanya mendapati sepotong saja pembenaran-pemebenaran hukum Allah yang telah berpadu dengan syahwat dan maksiat.

Saat ini kita berhadapan dengan sudut kehidupan yang berbeda. Dalam bahasa yang sarkastik kita ternyata hanya sekedar menonton parade kemunafikan. Dalam bentuk yang lebih baik dan nama yang bagus. Dengan segala bentuk kebaikan yang dilebih-lebihkan dan kekurangan yang dicukupkan. Ini membuat banyak orang harus mengelus dada dan mengucapkan istighfar.

Percakapan diperbatasan
Percakapan diperbatasan antara idealisme dan realita. Menyisakan banyak pertanyaan yang kemudian menimbulkan keraguan. Kita mulai ragu apakah hidup di bawah bayang kegemilangan sejarah masa lalu adalah diperbolehkan. Ataukah ia hanya menjadi prosa kemanusiaan diantara orang-orang terpilih. Lalu kita tidak memaknainya menjadi spirit perubahan selain kebanggaan yang absurd.

Percakapan diperbatasan antara idealisme dan realita. Menyisakan banyak pertanyaan yang kemudian menimbulkan kegelisahan. Kita mulai ragu dengan batas kepercayaan dengan keterpaksaan. Engkau boleh percaya kepada adanya takdir Illahiyah. Namun ragu apakah engkau menjalani atas dasar kepercayaan itu ataukah dengan keterpaksaan. Boleh jadi kita percaya pada titik kemenangan yang mulia dan suci. Tapi apakah kita mampu menjalaninya tanpa adanya keterpakasaan darimanapun.

Bukankah seharusnya kita memaknai banyak hal dari sejarah masa lalu. Pemikiran-pemikiran 14 abad yang lalu.

Antologi prosa kehidupan orang-orang yang terpilih
Agar ada kesamaan aliran nadi semangat berkorban
Sehingga detak jantung ini adalah detak harapan juga
Seperti seribu empat ratus tahun yang lalu

Bukankah masa telah mengawali dengan dialog sederhana
Dialog ditepi idealita dan realita yang melelahkan
Tapi sungguh mereka tidak hidup di kedua zaman itu
Mereka meniti jalan penjang menuju Illahi di Arasy’
Menyandarka setiap ruh dan kehidupan di tepi kuasaNya

Kemana mereka sekarang
Mereka yang tengah mencari kecukupan diri sedang berlalu hingga ke muara penantiannya. Tanpa kesudahan yang jelas para pencari taqwa itu telah meninggalkan kebun-kebun makrifatnya. Jangan bertanya siapa yang akan menanam dan siapa yang menuai. Musim tidak lagi kini pernah jelas.

Lorong-lorong musholla yang tiris tanpa huruf hijaiyah. Meski banyak berlalu sebenarnya mereka tidak pernah serius memikirkan perubahan itu. Sementara kami memaknai ini sebagi titik nadir dari apa yang pernah kita pelajari. Kita bahas dalam ruang-ruang seminar yang meninggalkan setumpuk bahasan.

Penutup
Benar adanya bahwa kehidupan ini tersususn dari mozaik-mozaik peristiwa. Jenak-jenak kehidupan yang kemudian berpadu dalam rangkaian waktu yang kita sebut dengan sejarah. Namun kita telah memilih jalan untuk melaluinya. Berharap akan ada perubahan dengan sendirinya itu akan mustahil. Berikhtiar untuk merubahnya maka itu menjadi amal yang tidak terkira. Itupun jika kita mampu. Jika tidak melakukannya, itupun tidak apa-apa.

Semoga Allah senantiasa bersama kita
Tarikh 1427 Hijriyah, Djulqa’dah

Wiyono K

1 comments:

    Semoga mozaik-mozaik kehidupan kita dirangkai dengan ibadah dan amal yang berujung pada tauhid