Mihrab Agung Orang-orang Tercinta

Mukaddimah ; Ruang Rindu

Cukuplah Allah bagi kita tempat menyandarkan hati. Sebab Ia adalah muara segala kehendak. Tak ada yang lebih indah dalam hidup ini selain bisa bertuma’ninah bersama Allah dalam khusyu’ dan tawadhu’. Berlam-lama dalam dialog penghambaan dihadapan khalik Maha Pencipta. Mengisi malam dengan dzikir dan do’a. Menghiasi kehidupan ini dengan jalan-jalan ketakwaan. Sehingga tak sedetikpun tersiakan hanya untuk sekedar gundah dan cemas.

Hidup ini harmoni dikala kita telah menemukan tujuan hakikinya. Memahami hakikat penciptaan dan penghambaan. Hidup sejatinya adalah perjalanan dan pendakian menuju pertemuan agung dengan Allah. Berada di bawah naungan rabbaniyah dan melaluinya di atas jalan tarbiyah Ilallah. Sebuah perjalanan suci yang dihiasi recik-recik peristiwa dengan hikmah dan pembelajarannya. Setiap fase kehidupan adalah amanah yang mengandung pesan ruhama bagi penghambaan yang tulus. Demikian kita mendapatkannya dari majelis-majelis ilmu.

Pesan-pesan rabbaniyah terurai sepanjang langit dan bumi. Sejauh timur dan barat. Ia tak pernah menjanjikan ukuran yang serba materi selain pengajaran yang mulia di setiap pertemuannya. Ia menyapa dengan kelembutan sehingga menghadirkan jiwa mutma’innah. Mendekatkan diri kepada kehendak asal dari penciptaan manusia itu sendiri. Bahwa Allah adalah tujuan kita dengan jihad sebagai jalan satu-satunya yang harus ditempuh.

Bahwa ada satu hal yang harus kita sesali dalam hidup ini yang belum dilakukan dengan sepenuh hati adalah bersyukur. Demikian sebahagian orang menerjemahkan arti penyesalan disaat sakratul maut yang sesungguhnya. Kesyukuran dalam munajat yang di hadirkan pada malam-malam menjelang fajar. Rasa syukur atas takdir dan kehendak Allah yang telah tergariskan merupakan sebab kelapangan dan ketentraman. Ia menjelma menjadi ruang rindu yang dinanti setiap detiknya. Kesempatan yang khas di mana setiap kita bisa menumpahkan segenap do’a dan pengaduan. Setengah menangis dan bergumam. Sedikit berujar namun penuh dengan permintaan.

Sebenarnya Cinta

Bukankah demikian Allah mengilhamkan kebaikan kepada hati setiap manusia. Manusia yang kini sedang menghuni abad telematika dan abad informasi. Manusia itu adalah kita semua yang tengah berdiri berjejejal dan mengantri untuk mendapatkan jatah usia yang besok juga pasti akan habis

Bukankah sejarah dengan bentangan tarikh yang tak berhingga sejak penciptaan manusia hingga penemuan atom adalah abad yang menyimpan pelajaran abadi. Sejak turunnya dari surga Adam hingga sa’inya Siti Hajar. Sejak peristiwa wahyu pertama di gua hira hingga haji wada’nya Rasulullah. Sejak runtuhnya khilafah Utsmaniyah hingga tragedi Shabra dan Shatila. Sejak renaissance dan aufklarung di barat hingga runtuhnya orde baru di Indonesia. Tidakkah ada sedikitpun sejarah itu telah menggetarkan hati setiap kita untuk bisa mengambil peran dalam amal yang menyejarah.

Bukankah semesta dengan puncak gunung-gemunungnya hendak menyampaikan khabar penciptaan yang kokoh. Sehingga kita manusia merasa tentram berjalan diatas sajadah hijau yang menghampar dari tepian eufrat hingga puncak jaya wijaya. Merasakan kelembutan Illahi di tengah padang makrifat bersama kehangatan matahari dhuha pagi hari.

Bukankah langit dengan cahaya bintang-gemintangnya hendak menorehkan sketsa hidup surgawi yang terlukis indah diantara galaksi bimasakti dan jagat raya ini. Langit yang dulu menaungi semangat penaklukan persia adalah langit yang sama, yang menaungi pengusiran orang-orang palestina oleh zionis saat ini. Langit yang hari ini menyimpan banyak diam atas kejahiliahan manusia adalah langit yang sama pula, yang dulu pernah menyaksikan khabar kebangkitan ummat di Andalusia dan Mesopotamia. Dan langit yang menjadi tempat berteduh bocah-bocah di tepi Beit Hanoun Libanon adalah langit yang sama juga, dengan yang memayungi kita di bumi khatulistiwa ini.

Ajarai kami sekali lagi bagaimana cara untuk bersyukur. Bersujud dan berisighfar yang benar. Sungguh kami merindukan saat-saat perjumpaan kelak. Getar-getar pertemuan yang kian menggerakkan jiwa ini untuk berlari mendekat. Tapi pantaskah kami mengikuti jejak para anbiya’ dan syuhada yang tersurat dalam sejarah dengan tinta syahid. Astaghfirullah.

Tuhan, Mengapa Adzan Subuh Tak ‘Terdengar’ Lagi?

Suatu ketika hati tak lagi galau mendapati shaf yang semakin kosong pada saat shalat subuh berjama’ah. Sebab ternyata sebahagian kita termasuk orang-orang yang melengkapi kekosongan itu. Ada hati yang berubah kini. Sedang tergolek di atas kelesuan iman yang sangat. Bercampur was-was terkulai lemas di tengah ruang kosong yang kering dari Asma Allah dan lantunan Qira’at. Nuansa khusyu’ itu hilang terganti sya’ir romantisme kehidupan yang dangkal. Selain alur dan plot cerita linear yang berujung kepada kejenuhan dan titik kefuturan. Sekeping hati berlari semakin menjauh dari kesejukan dan keteduhan lindungan Tuhannya.

Kemana ia hendak berlari dan menitipkan pesan perjuangan itu. Ataukah ia ingin berhenti lalu menitipkan pesan kepada generasi kepompong yang masih bertebaran di pelataran sejarah. Sepertinya telah melupakan manisnya anugerah bisa berada di atas jalan tarbiyah Ilallah. Berada dibawah lindungan Rabbaniyah. Merasakan kelembutan Allah di setiap ruang batin yang tak henti-hentinya memancarkan rona kesyukuran dan dzikir tasyakkur. Merasakan pengalaman batin yang seolah membawa sisi kemanusiaan yang fakir ini menuju anak tangga tertinggi pendakian kepada Allah.

Tak seorangpun tahu di pintu mana sebenarnya kita akan mengantri kelak di akhirat. Tapi cobalah tengok kerugian terbesar yang sudah kita bukukkan dalam rekening kehidupan ini. Hendak mencari pengaduan kemana ketika rumah-rumah indah yang disurga telah tergadaikan oleh hutang kehormatan yang begitu besar menagih di dunia ini. Rekening dunia telah menyilaukan sangat sehingga rela mengosongkan rekening akhirat hanya untuk secuil kenikmatan yang tak seberapa lezat sebenarnya. Sejumput kebahagiaan di dunia terpaksa ditebus dengan menjual harta dan kemewahan dari surga. Kitapun melepaskannya semua dan tersadarkan hari ini betapa kita tak punya rumah indah lagi disurga kelak.

Sungai dan telaga jernih yang telah disiapkan Allah sekalipun tak luput dari keanarkian sifat kemanusiaan ini. Kita mengurasnya untuk membasuh wajah dan mengepel rumah di dunia demi untuk dilihat manusia. Mengalir air mata tatkala munajat dimalam hari dengan harapan agar digantikan Allah kelak air mata ini dengan telaga jernih di surga. Namun mata yang sama kita pergunakan untuk maksiat di siang harinya. Melihat makar yang sesekali kita juga bagian didalamnya. Kita basuh air wudhu tangan di malam hari dengan harapan kelak bisa merasakan kesegaran air sungai di dalam surga. Namun siangnya tangan yang sama kita pergunakan untuk menyakiti saudara kita. Tangan juga akan berhenti memberi tatkala tak ada yang memuji. Demikian dzalimnya kita telah menipu dalam janji jual beli dengan Allah.

Sementara orang-orang terus berlalu di atas hamparan semesta. Mengitari bumi yang tak pernah berhenti juga bergerak di bidang elips horizontal mengitari matahari. Namun seberapa banyak sebenarnya kita yang berjalan ini benar-benar mengenal Dzat yang hendak dituju. Rumah yang hendak dihuni. Cinta yang akan terperi.

Setelah bongkar pasang niat yang tak pernah paripurna. Selalu bercela riya dan dusta. Amal terhinggap penyakit. Sementara semesta terus bergantian siang dan malam setelah pagi dan petang. Usia kian bertambah melewati kejadian bersama hikmahnya namun hati tak kunjung merasakan bermakna. Lupa amanah usia yang tersia-sia karena amal tak seberapa dibanding setumpuk salah dan dosa. Jangan pula hendak menggurat sejarah di negeri ini, untuk menyurat hari esok saja pun rasanya tak mampu lagi.

Ketika Tuhan hendak mempersaksikan amanah yang telah dititpkanNya kepada setiap manusia. Barulah terjaga hati ini betapa jauhnya ia dari sebutan mukmin. Tersedak sesaat menyaksikan kadar kesyukurannnya yang hanya setitik dibandingkan segantang nikmat dari Allah. Lupa menakar diri sebab disibukkan tansaksi kehormatan dan kebendaan. Di titik yang sangat jauh dirasa namun sangat dekat di dalam labirin kejiwaan ini. Hati sebenarnya menangis. Setelah semua peristiwa kehidupan mengalir seperti air. Hati setiap kita pun beristighfar sambil menengadah ke langit dan berbisik kepada Tuhannya ‘Selama ini Aku Sakit Tetapi Kenapa Engkau Tak Jenguk Aku…Rabb’.

Hingga Semesta ‘Bertasbih

Hampir setiap pagi orang-orang bergegas berjalan hendak mendapati cahaya matahari untuk pertama kalinya. Setengah berlari mereka menuju titik horizon yang memendarkan berkas merah jingga. Untuk sekedar merasakan hangatnya fajar pagi. Sambil membisikkan harapan-harapan akan datangnya kebaikan hari ini. Menggantungkan cinta dan do’a yang tak pernah khatam sekalipun harus melisankannya berulang-ulang.

Apa gerangan yang menjadikan semesta ini begitu hangat dan ramah menyambut mereka. Apakah lantaran orang-orang menyayanginya? Apakah lantaran orang-orang selalu ramah dan bersahabat dengan semesta?. Jawaban lugasnya adalah tidak. Setiap hari kita menginjak bumi dengan hamparan tanahnya yang tak pernah merasa terhinakan lantaran diinjak.

Setiap saat, kita orang-orang yang berjalan di kolong langit ini semakin tak pernah merasakan keteduhan oleh payungan langit yang tak bertiang itu. Semakin berumur dan sepuh menghuni bumi ini orang-orang semakin tak sadar dan lupa diri dengan siapa sebenarnya mereka berhadapan. Sementara jiwa dan kehidupan kita bergerak mengalir hingga ke muara asal nantinya, namun amal tak jua sempurna ditunaikan. Sehingga tiba-tba saja seseorang baru tersadar langkah yang sudah dilaluinya. Baru tersadar setelah sekian lama berada di ruang kehidupan ini dengan berbagai macam pencapaian dan kegagalannya. Segala bentuk amal dan do’a-do’anya. Baru tersadarkan setelah banyaknya waktu yang terbuang dengan kesiaan. Perkataan yang tak ada manfaatnya bagi diri dan Tuhannya. Ditambah setumpuk dosa dan kedustaan. Setelah lupa bagaimana berterimakasih dengan sebaik-baik cara.

Ternyata semesta masih ikhlas menerima perlakukan itu semua. Masih mau menopang kehidupan orang-orang yang lupa berterimakasih dan lupa bersyukur. Kalau tak mau dikatakan sekedar mampir di dunia milik Tuhan ini, ternyata kita bukan apa-apa dan tak akan menjadi apa-apa jika tak ada kasih sayang yang terus menerus mangayomi. Justru ketidakapa-apaan itulah yang menjadikan manusia lupa akan kasih sayang dari Dzat yang menjadikannya menjadi apa-apa. Rumit memang mendefenisikannya. Tapi tak serumit jika kita benar-benar mau berdialog dengan semesta ini.

Apapun perlakuan yang telah tertorehkan dan sebesar apapun itu. Apakah menyakitkan atau penuh ketersanjungan. Sungguh jikapun semua makhluk tak berterimakasih kepada pemilik semesta ini, Ia tak akan merugi sedikitpun. Tak akan berhenti dengan Kebesaran dan Kesempurnaan yang dimilikiNya. Tetapi kitalah yang akan dipermalukan kelak. Akan menjadi bulan-bulanan atas kebodohan yang benar-benar jahiliyah. Bukankah Ia telah memberikan banyak contoh. Mengajari cara berterimakasih dengan kadar dan kemampuan yang disesuaikan dengan kesanggupan setiap orang. Dengan kata lain ada banyak cara untuk bertemu denganNya. Tetapi jika tak mau belajar untuk itu maka bersiaplah tersesat didalam labirin semesta yang tak bertepi ini.

Khatimah ; Kenduri Cinta Bersama ‘Kanjeng’ Nabi

Terimakasih karena engkau telah mengajak kami mengelilingi padang makrifat semesta. Melihat beragam corak warna kehidupan dengan seluruh kesempurnaan dan kekurangannya. Berteduh bersama Dien yang mengabadikan kisah epik badar dan khandaq hingga kisah romantisme Yusuf dan Zulaikha. Mampir sebentar di jazirah antara Eufrat dan Tigris untuk melihat karya-karya abadi Al Farisi dan Tayyimiyah. Namun tak menyempatkan kami untuk berleha-leha di savana tepi Nil dengan hamparan kebun-kebun anggur dan patung raja-raja masa fir’aun di tengah kota Memphis. Karena mata kami bergegas melihat bocah-bocah kecil yang berlarian di sekitar Shabara dan Shatila. Kami melihat mereka dikejar-kejar molotov bikinan pabrik sementara di tangan mereka hanya sebuah batu. Hingga akal kami tak sempat membuat partisi dan ruang-ruang khusus untuk merekam semua kejadian. Kecuali semua sketsa terhimpun dalam majelis kenduri cinta yang menghadirkan shalawatmu ditengah-tengahnya.

Terimakasih karena engkau telah mengajari kami untuk memilah kesejatian dan keabadian ditengah suguhan pilihan-pilihan. Walaupun kadang sisi kekanak-kanakan yang bersemayam di dalam hati ini menguntit dibelakang dan menjelma menjadi kedewasaan yang masih prematur. Kalaupun orang-orang menilainya sebagi satu kelumrahan dari sifat manusia namun kami menilainya sebagai bentuk kebodohan akut yang belum ada obatnya. Sekalipun telah di amputasi oleh tilawah dan sujud-sujud malam. Namun tetaplah ia sebagai sisi manusia yang manusiawi. Jadi ajaranmu belum jadi hafalan batin, baru sebatas nembang bibir saja. Belum bisa mengunyahnya sehingga mendarah daging.

Terimakasih karena engkau telah mengenalkan kami kepada kerabat dan family yang tak terbatas pada nasab dan marga. Setiap rumah yang disana ada basmallah kami temui untuk bersilaturahmi. Meskipun tak disuguhkan teh atau cemilan namun bisa bertandang dirumah-rumah itu membuat kami senang dan semoga jadi panjang umur. Tak ada anshor maupun muhajirin. Kecuali persaudaraan yang terikat kepada man dan aqidah seperti yang engkau contohkan sekian abad yang lalu.

Terimakasih karena engkau telah menitipkan warisan anak-anak yatim dan orang-orang miskin kepada kami. Sebab setiap kami pandang kepayahan dan kedukaan mereka menjadikan hati kami luluh dan menangis. Setiap sekon dan milimeternya penderitaan mereka adalah anugerah bagi kami. Untuk sejengkal melangkah mendekati gerbang akhirat. Tawa dan senyum mereka menghadirkan sisi lain dari kebahagiaan itu. Kenyang bagi kami berarti lapar bagi anak-anak yatim dan orang miskin. Tawa bagi kami berarti sesak bagi mereka yang senantiasa bertasbih memohon keampunan dari Tuhannya agar diberikan kelapangan hidup. Maka ingatkan selalu kami untuk merawat baik-baik warisan dan titipanmu.

Terimakasih karena engkau telah membawakanku hidangan hati dan jamuan akhirat. Suguhan yang memuaskan dahagaku selama ini. Sudah sekian tempat kami datangi namun rasa lapar dan dahaga justru semakin menjadi-jadi. Ternyata kemewahan dalam etalase yang nampak lezat hanya sebentar memuaskan setelah sekian perseratus detik dikunyah. Setelah itu ada rasa anyir dan kadang bau amis. Sementara engkau telah menghidangkan makanan ruhiyah yang harum aromanya. Disuguhkan bersama sekantong buah-buahan dari surga. Jika memakannya dengan bersyukur maka tak ada berkurang hidangannya malah bertambah. Dan engkau telah menuangkannya dalam gelas Al Ma’un dan cangkir Fatihah bersama sejuta kenikmatan yang menyertainya. Terimakasih. Semoga shalawat tercurah bagi manusia tercinta. Kekasih Allah. Yang kami harapkan syafaatnya. Wallahu’alam. Alhamdulillah.


Tidakkah engkau menyempatkan untuk bertafakkur

Sungguh Kasih SayangNya laksana kejernihan

yang setiap saat mengilhamkan makna taubat dan kemaafan

Ya Allah ajari kami untuk mengenalMu lebih baik…



Alhamdulillah,

Wiyono Saputro,

Ngayogyakarta Dalem, Medio Sya’ban 1428 H

1Catatan ‘muhibbah dan dakwah (April-Agustus2008)’ di beberapa tempat, diantaranya : Desa Kaki Gunung Merapi ; Daerah Pantai Selatan Jawa Tengah ; Sepanjang Jogja-Solo-Semarang dan tentunya di tempat ‘bekerja’. Salam takzim untuk semua ikhwafillah di setiap ranah perjuangan. Ukhuwwah itu kekal dan abadi tatkala kita menisbatkannya kepada Allah SWT. Terimakasih karena telah mengenalkanku kepada kesederhanaan dan kebersahajaan dalam hidup.

3 comments:

    On 10:15 AM Anonymous said...

    alhamdulillah,,kalo di tempat kerjanya bisa menemukan kebahagiaan yg slama ini kak cari..

    selamat menempuh hidup yang baru,,dg orang2 yang baru tentunya..!! smg cepet menemukan kebahagiaan yang sejati,,,yoo

    maafkanlah sgala khilaf yng tlah di lewati tlah membawamu kedalam jalan yng melupakan tuhan..dr smua kejadian yng tlah dialami smg bisa mengambil hikmahnya,,amiin!!!

    wassalam..
    hapunten anu kasuhun, tina sagala kalepatan sim abdi..yoo???

    On 10:16 AM Anonymous said...

    kapan nih nikahnya??katanya mau tun ini tanggal brp? he.he

    Kesederhanaan kampung memang bs membuat kita ingat akan kebahagiaan yg sesungguhnya. Ternyata bukan istana, kendaraan yg mewah dan makanan yg lezat. Tp keberkahan atas apa yg kita nikmati. Dengan apapun Allah bs memberikan kebahagiaan bg hambaNya. Begitupun sebaliknya. Sebagai orang yg dilahirkan di kampung sy sangat tersentuh dg tulisan antum...Thoyyib...Sy tahu knp Noven dan Rindah blog km bagus...Selamat berpetualang ya....