Suatu ketika hati tak lagi galau mendapati shaf yang semakin kosong pada saat shalat subuh berjama’ah. Sebab ternyata sebahagian kita termasuk orang-orang yang melengkapi kekosongan itu. Ada hati yang berubah kini. Sedang tergolek di atas kelesuan iman yang sangat. Bercampur was-was terkulai lemas di tengah ruang kosong yang kering dari Asma Allah dan lantunan Qira’at. Nuansa khusyu’ itu hilang terganti sya’ir romantisme kehidupan yang dangkal. Selain alur dan plot cerita linear yang berujung kepada kejenuhan dan titik kefuturan. Sekeping hati berlari semakin menjauh dari kesejukan dan keteduhan lindungan Tuhannya.

Kemana ia hendak berlari dan menitipkan pesan perjuangan itu. Ataukah ia ingin berhenti lalu menitipkan pesan kepada generasi kepompong yang masih bertebaran di pelataran sejarah. Sepertinya telah melupakan manisnya anugerah bisa berada di atas jalan tarbiyah Ilallah. Berada dibawah lindungan Rabbaniyah. Merasakan kelembutan Allah di setiap ruang batin yang tak henti-hentinya memancarkan rona kesyukuran dan dzikir tasyakkur. Merasakan pengalaman batin yang seolah membawa sisi kemanusiaan yang fakir ini menuju anak tangga tertinggi pendakian kepada Allah.

Tak seorangpun tahu di pintu mana sebenarnya kita akan mengantri kelak di akhirat. Tapi cobalah tengok kerugian terbesar yang sudah kita bukukkan dalam rekening kehidupan ini. Hendak mencari pengaduan kemana ketika rumah-rumah indah yang disurga telah tergadaikan oleh hutang kehormatan yang begitu besar menagih di dunia ini. Rekening dunia telah menyilaukan sangat sehingga rela mengosongkan rekening akhirat hanya untuk secuil kenikmatan yang tak seberapa lezat sebenarnya. Sejumput kebahagiaan di dunia terpaksa ditebus dengan menjual harta dan kemewahan dari surga. Kitapun melepaskannya semua dan tersadarkan hari ini betapa kita tak punya rumah indah lagi disurga kelak.

Sungai dan telaga jernih yang telah disiapkan Allah sekalipun tak luput dari keanarkian sifat kemanusiaan ini. Kita mengurasnya untuk membasuh wajah dan mengepel rumah di dunia demi untuk dilihat manusia. Mengalir air mata tatkala munajat dimalam hari dengan harapan agar digantikan Allah kelak air mata ini dengan telaga jernih di surga. Namun mata yang sama kita pergunakan untuk maksiat di siang harinya. Melihat makar yang sesekali kita juga bagian didalamnya. Kita basuh air wudhu tangan di malam hari dengan harapan kelak bisa merasakan kesegaran air sungai di dalam surga. Namun siangnya tangan yang sama kita pergunakan untuk menyakiti saudara kita. Tangan juga akan berhenti memberi tatkala tak ada yang memuji. Demikian dzalimnya kita telah menipu dalam janji jual beli dengan Allah.

Sementara orang-orang terus berlalu di atas hamparan semesta. Mengitari bumi yang tak pernah berhenti juga bergerak di bidang elips horizontal mengitari matahari. Namun seberapa banyak sebenarnya kita yang berjalan ini benar-benar mengenal Dzat yang hendak dituju. Rumah yang hendak dihuni. Cinta yang akan terperi.

Setelah bongkar pasang niat yang tak pernah paripurna. Selalu bercela riya dan dusta. Amal terhinggap penyakit. Sementara semesta terus bergantian siang dan malam setelah pagi dan petang. Usia kian bertambah melewati kejadian bersama hikmahnya namun hati tak kunjung merasakan bermakna. Lupa amanah usia yang tersia-sia karena amal tak seberapa dibanding setumpuk salah dan dosa. Jangan pula hendak menggurat sejarah di negeri ini, untuk menyurat hari esok saja pun rasanya tak mampu lagi.

Ketika Tuhan hendak mempersaksikan amanah yang telah dititpkanNya kepada setiap manusia. Barulah terjaga hati ini betapa jauhnya ia dari sebutan mukmin. Tersedak sesaat menyaksikan kadar kesyukurannnya yang hanya setitik dibandingkan segantang nikmat dari Allah. Lupa menakar diri sebab disibukkan tansaksi kehormatan dan kebendaan. Di titik yang sangat jauh dirasa namun sangat dekat di dalam labirin kejiwaan ini. Hati sebenarnya menangis. Setelah semua peristiwa kehidupan mengalir seperti air. Hati setiap kita pun beristighfar sambil menengadah ke langit dan berbisik kepada Tuhannya ‘Selama ini Aku Sakit Tetapi Kenapa Engkau Tak Jenguk Aku…Rabb’.

0 comments: